Selasa, 07 Juli 2015

Memadukan Melukis Dengan Hipnoterapi

Memadukan Melukis Dengan Hipnoterapi
”Kami diminta melukis sebebas-bebasnya, sesuai dengan apa yang kami rasakan. Melalui goresan tangan dan lukisan,  baik di kertas maupun kanvas, ekspresi perasaan bisa dilepaskan. Saya merasa seperti ada bebas yang lepas”.

Selembar kertas kosong itu diminta untuk dicorat-coret. Dibuat dengan pensil, coretan di kertas itu tidak boleh terputus, artinya ujung pensil tak boleh sedikitpun terangkat dari kertas. ”Silakan coret apa saja”, kata Verri Jaya Priyana, MA, meminta Tempo untuk terus mencoret di atas kertas.
            Verri, (47 tahun), adalah seorang pelukis impresionis. Sejak kecil ia punya hibby menggambar dan mulai serius melukis setelah menginjak usia SMA. Saat bekerja di sebuah perusahaan otomotif, dia mempelajari ilmu hipnoterapi. Dua hal itu kemudian dikawinkan. ”Melukis itu melepaskan kita dari rutinitas sehari-hari,” ujarnya. Begitu pula dengan hipnoterapi, bagaimana memaksimalkan otak kanan”, pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, itu menambahkan.
Dia semakin bersemangat menyatukan keduanya setelah bertemu dengan Victoria Abdoela Eva, seseorang yang menekuni terapi seni lukis dari Rusia. ”Dari dia kemudian saya memberikan terapi” ujar pria yang mulai memberikan terapi pada 2011 itu.
Hingga saat ini Verri sudah memberikan terapi lukis kepada sejumlah kelompok, dari ibu-ibu, bapak-bapak hingga anak TK. Menurut Verri tidak ada perbedaan antara memberikan terapi pada orang dewasa  dan untuk anak-anak. ”Saya tetap membebaskan mereka untuk melukis” katanya.
Rabu lalu itu. Verri mengajak tempo mencoba metoda terapinya di sanggar seninya di daerah Sarua, Ciputat, Tangerang Selatan. Verri tidak memberikan batasan waktu kapan coretan itu diselesaikan. Yang penting, mencoretlah sesuka hati.
Sebelum meminta mencoret-coret, Verri memberikan daftar sejumlah pertanyaan. Jawaban dari pertanyaan ini akan berguna untuk mengetahui tipe warna kepribadian. Verri mengatakan kegiatan mencoret-coret pada selembar kertas kosong itu tak punya makna khusus selain sebagai bentuk eksplorasi imajinasi untuk membebaskan dari belenggu ”mental block”. Karena itu Verri tak punya respons atas hasil coretan. Ia hanya melihatnya dan sudah k ada komentar apapun atas hasil coretan.
Sesudah mencoret-coret, peserta lalu diminta Verri untuk menggambar lagi pada kertas A4. kali ini sebuah contoh diberikan, sebuah gambar ketel kecil, gelas cangkir lengkap dengan tatakan, kesemuanya dalam posisi terbalik. Karena itu menggambarnyapun dalam posisi terbalik, ”ini untuk melatih konsentrasi, membayangkan cangkirnya dalam keadaan terbalik”, katanya.
Tak ada komentar apapun atas dua gambar coretan itu, Bagi Verri keduanya merupakan cara untuk mengekspresikan imajinasi. Tak ada penilaian apapun atas  hasil coretan itu. Kemudian ia meminta Tempo untuk menggambar, melukis pada sebuah kertas gambar. Seperangkat cat air dan acrylic sudah disiapkan. ”Gunakan jari Anda untuk menggambar”, ujarnya.
Sejumlah pilihan warna telah tersedia. Verri membebaskan untuk memilih warna kesukaan apa yang akan digoreskan di kertas. ”Kalau perlu gunakan semua jari untuk melukis,” katanya. Menurut Verri dengan langsung menggunakan jari untuk melukis  ekspresinya akan lebih bebas. Sentuhannya akan berbeda bila menggunakan kuas,” katanya.
Terapi melukis belum berhenti di sini, masih ada tahapan terapi berikutnya. Menurut Verri, melukis dengan jari tangan ini semacam sketsa awal, untuk melukis di kanvas yang sebenarnya. ”tapi bisa saja berbeda dengan gambaran yang di sin” ujarnya.
Namun sebelum melukis di kanvas yang sebenarnya, berukuran 60 x 40 sentimeter, Verri mengajak meditasi, tak perlu tempat khusus Verri cukup meredupkan cahaya di ruangan tengah. ”Imajinasikan Apa yang akan Anda lukis,” katanya. ”Setelah Anda menemukan apa yang akan Anda lukis, fokuslah pada obyek tersebut. Fokuskan apa saja yang ingin Anda lukis”.
Sekitar 15 menit, meditasi selesai. Sebuah kanvas berbingkai, cat akrilik, dan seperangkat kuas sudah disiapkan di atas meja. Namun sebelum mulai menggoreskan kuas tempo diminta membuat sketsa.
Lalu apa bedanya terapi melukis dengan belajar melukis? Verri mengatakan , dalam  terapi ini dia tidak akan memberikan tehnik atau cara-cara melukis. ”Saya membebaskan  mereka untuk melukis, tidak ada tehnik-tehnik melukis yang saya ajarkan,” ujarnya.
Verri biasanya akan bisa tahu bagaimana cara melukis seseorang, atau yang ia terapi dari tipe warna kepribadiannya. Misalnya, bila yang datang kepadanya sudah membawa tumpukan sejumlah masalah, ”melukisnya akan lebih ekspresionis, trlihat abstrak”, tuturnya.
Tidak mudah melukis di kanvas berukuran 60 x 40 sentimeter, ”Memang butuh fokus, energi kita terserap ke atan kanvas,” ada banyak ruang yang harus diisi apa yang harus di lukis. ”Kanvas itu seperti mengambil energi kita.” katanya.
Meskipun terasa melelahkan, rasa puas akan terasa begitu lukisan sudah selesai. Melukis itu menciptakan kenyamanan. Itulah yang dipercaya Verri. Karena, dengan melukis, orang membebaskan ekspresinya. Kondisi yang teman dan nyaman itulah, kata dia, yang membuat orang tidak mudah diserang penyakit. ”dengan melukis, orang menjadi kalis dari penyakit,” ujarnya.
Nurul Wijayati, 49 tahun, merasa terapi melukis yang diberikan Verri membantu dirinya lepas dari rutinitas yang menjenuhkan. Pekerjaannya sebagai guru SMA di Bekasi, dan menjalankan toko seragam, membuat hari-harinya menjemukan.
Sebaliknya, di kelas Verri, dia bersama sekitar 20 teman arisannya bebas mengekspresikan perasaannya melalui pilihan-pilihan warna dan coretan-coretan di kertas. Kami diminta melukis sebebas-bebasnya, sesuai dengan apa yang kami rasakan,” katanya, Melalui goresan tangan dan lukisan, baik di kertas maupun kanvas, ekspresi perasaan bisa dilepaskan. ”Saya merasa seperti ada perasaan bebas yang lepas”, ujarnya.
Dalam memberikan terapi, kata Nurul, Verri tidak menyampaikan tuntutan yang spesifik harus melukis apa. Tahapan-tahapan terapi dimulai dari mengisi quesioner, mencorat-coret gambar, menggambar sketsa, hingga meditasi dan melukis di atas kanvas. ”Kami diminta menumpahkan apa yang dibenak, apa yang selama ini membebani, untuk dituangkan di atas kanvas dan kertas,” katanya. (IQBAL MUHTAROM).
Tempo, Minggu, 14 April 2013.

Untuk info Terapi Seni Lukis hubungi :

Rumah Sehat Thera Afiat
Jl. Kelapa Sawit Blok D/D No. 15
Samping Pusat Kajian Al Quran dan Informasi Islam
Kelapagading
Jakarta Utara

Telp./WA  08111494599
08788 3171247
Pin 28303BAC

Source:


Mengekspresikan Kejujuran


Lukisan : Mencari Cinta, Karya : Verri JP MA, 70 x 80cm,
Oil on Canvas

Mengekspresikan Kejujuran
Oleh : Tjahjo Widyasmoro

”Lewat lukisan saya bisa mengekspresikan kejujuran saya sendiri tanpa harus dibuat-buat, tanpa harus dibagus-bagusin..” (Inggrid Widjanarko)

Inggrid Widjanarko berani  menggoreskan kuas pada kanvas bukan lantaran merasa jago. Melukis baginya hanyalah merupakan kegiatan yang dilakukan di waktu senggangnya dalam tujuh tahun terakhir ini. ”Jangankan ngelukis, nggambar saja nggak bisa kok,”: akunya jujur. Ia melukis karena ingin mencoba dan mengetahui sejauh mana kapasitas diri yang ada di dalam dirinya. ”Kita tidak tahu kapasitas itu, makanya harus dicoba,” tuturnya.
Inggrid mengistilahkan tindakannya ini sebagai ”terapi kejujuran”. Penjelasannya kira-kira begini : Menemukan jati diri dengan berani mencoba melakukan sesuatu yang sama sekali baru. Meski memakai istilah ”jujur”, Inggrid menolak jika  dikatakan aktivitas sehari-harinya yang bergerak di seputar dunia hiburan dan pengorganisasian acara penuh ketidakjujuran.
”Lewat lukisan, saya bisa mengekspresikan kejujuran saya sendiri tanpa harus dibuat-buat, tanpa harus dibagus-bagusin, saya senang, saya bahagia dengan hasil yang segitu-gitunya.”  jelas perempuan kelahiran Jakarta, 46 tahun silam ini.
Pengakuan Inggrid memang apa adanya. Menyimak lukisan karya-karyanya, boleh jadi sejenak kita akan berkerut kening. Dominasi warna-warna terang begitu terasa di kanvas ukuran kecil itu. Obyek-obyek lukisannya juga amat beragam seperti bunga, matahari, atau  rumah  Terasa betul lukisannya dipengaruhi oleh kata hatinya, mulai pemilihan tema, warna termasuk soal teknik.
Inggrid memulai hobi barunya bersamaan dengan mencuatnya krisis ekonomi negeri ini tahun 1998. Akibat krisis, bisnis hiburan yang digelutinya seolah nyaris tanpa  kegiatan, situasi itu mendorong para selebritis melakukan kegiatan amal melalui pameran lukisan.
”Waktu persiapan pameran, saya mencoba ikut coret-coret di kanvas. Hasilnya ternyata ikut dipamerkan,” tutur pembawa acara di beberapa stasiun televisi ini bangga. Ia sendiri mengaku, sedikit pede ikut berpameran karena nama-nama yang terlibat bukanlah pelukis profesional. Melainkan sebatas pehobi. Sejak itulah melukis jadi bagian dari aktivitas barunya.
Saat dilanda kejenuhan oleh pelbagai kerja kreatif, Inggrid menyisihkan waktu sejenak untuk mengambil kanvas, kuas dan cat. Ia akan melukiskan apa saja yang terlintas di benaknya. ”Seenaknya aja, saya Cuma ndeprok duduk di lantai terus melukiskan apa saja yang terlintas di benaknya. Tidak memakai peralatan kayak pelukis beneran, ” kata Inggrid yang selalu memakai cat akrilik dan kanvas ukuran kecil.
Saat menuangkan ide-idenya itulah, Inggrid merasakan ketenangan  di dalam hati. Pasalnya sederhana, ia melakukan sesuatu yang disukainya. Setiap goresan dan perpaduan warna di kanvas dinikmati betul. Setiap bentuk dan warna mewakili segala imajinasinya tentang kehidupan.
”Aliran saya abstrak,”  katanya tanpa melanjutkan lebih lanjut. Tak heran jika kemudian banyak obyek yang dilukisnya sedikit sulit ditangkap orang lain yang tidak menyelami pribadi Inggrid lebih dalam. ”Saya gambarkan bunga, matahari, atau tumbuhan menjalar, sesuai imajinasi saya saja.” tutur perempuan yang masih melajang ini.
Judul-judul lukisannya juga diselaraskan dengan minatnya yang  besar dalam menulis, sehingga lahirlah kata-kata seperti  Cerita Cinta, Pasrah atau Penari. Lewat judul-judul bernada puitis ini, diharapkan orang-orang akan semakin mengerti gagasan-gagasan pelukisnya.
Meski masih awam, Inggrid sama sekali tidak berniat menyempurnakan teknik melukisnya. ”Selain tidak ada waktu, otak ini sudah nggak sampai kali ye,” katanya sambil terbahak. Maka ia juga tidak berusaha mempelajarinya secara khusus, seperti  mencari buku-buku tentang seni lukis atau belajar kepada guru tertentu.
Sejauh ini, hasil lukisannya lebih banyak diberikan ke orang lain sebagai hadiah. ”Mungkin karena lukisan saya dekoratif dan cocok dengan interior rumah,” duganya. Ada sekitar 15 lukisan yang kini dipasang di rumah teman atau tempat lain.
Sebuah lukisan biasanya dia selesaikan dalam dua atau tiga hari. ”Namun, saya selalu menyelesaikan setiap lukisan sampai tuntas, sampai diberi bingkai. Saya tidak pernah berhenti di tengah jalan,” kata putri dari Bambang Widjanarko, mantan ajudan Bung Karno ini.

-o0o-

Untuk mempelajari Art Painting Therapy
Bisa dihubungi :

V. J. Priyana, MA
Untuk info Terapi Seni Lukis hubungi :

Rumah Sehat Thera Afiat
Jl. Kelapa Sawit Blok D/D No. 15
Samping Pusat Kajian Al Quran dan Informasi Islam
Kelapagading
Jakarta Utara

Telp./WA  08111494599
08788 3171247
Pin 28303BAC

Source:


Pengantar Terapi Seni Lukis

Pengantar Terapi  Seni Lukis
Oleh : Verri JP MA

Zaman sekarang  di lingkungan hidup kita dipenuhi oleh gambar-gambar,  sejak kita bangun dari tidur, beraktifitas sampai kita tidur lagi kita bisa melihatnya. Sayangnya gambar-gambar yang ada di lingkungan kita tersebut bukan ciptaan kita, ada yang dibuat oleh keluarga kita, tetangga kita, bahkan yang paling banyak adalah ciptaan dari orang-orang yang tidak jelas dari mana nara sumbernya.
Penyajian gambar-gambar tersebut bisa melalui media komunikasi ataupun peralatan lainnya, contohnya : koran, majalah, televisi, internet dan lain-lain. Sedangkan di jalanan kita bisa melihat iklan-iklan dalam bentuk billboard, graffity di jalanan, tukang loper koran yang menjajakan majalah dan korang di halte-halte bus. Di ruang tunggu rumah sakit kita juga dihidangkan iklan-iklan obat-obatan yang dipasang di ruang tunggu pasien, jadi, dimana dan kemanapun kita pergi kita diserbu gambaran-gambaran yang akan menciptakan persepsi tentang berbagai realitas, termasuk juga realitas  pada diri kita.  
            Serbuan gambar yang bertubi-tubi tersebut membuat  subjek individu seperti  kanvas putih yang siap dicorat-coret apa saja dan dipengaruhi apa saja. Dalam kerangka semacam ini subjek manusia sebagai pusat kreatif menjadi apatis. Ia terancam menjadi eks-sentris, ia tidak lagi mengalami dirinya menjadi sumber ungkapan. Bahkan dengan deraan gambar yang beraneka rupa dan aneka temanya itu seolah membuat kita seperti dibawa ke dalam labirin gambar dan tersesat di dalamnya.
            Andaikan gambar dan imajinasi adalah suatu yang esensial dalam diri manusia, dan jika rasionalisme telah mematikannya atas nama kepastian, sementara teknologi komunikasi dan informasi juga menjeratnya, maka solusinya adalah melepas jeratan tersebut  agar  manusia sebagai subjek kreatif tidak teralienasi dan tetap memegang kendali.  Disini melalui terapi melukis peserta workshop  Terapi Seni Lukis akan di ajak ke  dalam relung-relung imajinasi diri, membukanya, menuangkannya di atas kanvas dan  menjadi peran utama dalam dunia gambar.

A.        Terminologi
Yang dimaksud Imajinasi adalah daya untuk membuat gambaran atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan).  Proses mengimajinasikannya ini akan membentuk gambaran tertentu, dan ini terjadi secara mental. Artinya, gambaran tersebut tidak secara  visual (kasat mata) dan tekstural (teraba oleh kulit dan tangan).
Sebuah lukisan  adalah hasil imajinasi seorang pelukis, namun hakikinya apa yang dihasilkan berupa lukisan itu tidak sama dengan imajinasi ketika masih ada di dalam alam khayal. Perbedaan apa yang ada di dalam alam khayal dengan apa yang tertuang karena  ada kombinasi lagi antara cat (minyak, acrylic) pada kanvas. Jadi, semakin jelas bahwa  imajinasi adalah proses mental, bukan pada proses visual jasmaniyah.
Ada perbedaan antara imajinasi, ilusi, khayalan dan fantasi, walau sekilas terasa bermakna sama. Fantasi adalah daya  untuk membayangkan sesuatu, sedangkan khayalan (English : Illusion)  adalah hasil berfantasi seseorang. Kalau didefinisikan Ilusi adalah  ide, kesan atau keyakinan yang salah tentang sesuatu. Ilusi ini dapat diciptakan, maka orang yang dapat menciptakan ilusi ini disebut Illusionis. Contoh Ilusionis diantaranya David Coperfield.
Dalam Bahasa Inggris ada beberapa variasi kata ”imajinasi”, yakni imagery, imaginary dan imagine. Imaji tidak harus berupa lukisan, imagery sering digunakan para penyair dalam bentuk tamsil atau perumpamaan. Kalau imaginary diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah imajiner atau khayal. Sedangkan kata “imagine” berarti membentuk suatu gambaran mental tentang sesuatu, biasanyanya diterjemahkan dengan kata “membayangkan”.

B.        Imajinasi Dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut John Eccles, ilmuwan yang pernah mendapat hadiah Noble, dalam buku karangannya Evolution of the brain creation of the self, secara ilmiah   menunjukkan proses evolutif perkembangan otak manusia, baik secara arkeologis, biologis maupun psikologis, seraya memaparkan proses evolusi otak manusia dan karenanya juga pemikiran dan pengetahuan pengenalannya akan ”diri” (self).
Secara lebih umum Eccles  telah membuat representasi tiga dunia yang meliputi berbagai eksistensi dan pengalaman manusia.


            imajinasi kreatif (creative imagination) digolongkan dalam dunia 2 (world 2), yakni keseluruhan dunia kesadaran atau keseluruhan – pengalaman – subyektif manusia. Sementara itu dunia 1 (World 1) adalah dunia obyek  dan kondisi fisik yang terdiri atas aspek inorganik, biologis, dan artefak (benda yang dibuat manusia terutama peralatan dan senjata yang penting dalam arkeologi).  Dunia 1 ini juga meliputi otak manusia, sedangkan Dunia 3 (World 3) adalah dunia pengetahuan dalam konteks obyektif, yakni warisan kultural dan sistem-sistem teoritis, termasuk juga bahasa.  Pemahaman akan ketiga dunia ini penting untuk memahami penempatan daya imajinasi dalam struktur pemikiran dalam hubungan dengan otak manusia. Istilah pemikiran itu sendiri mengacu pada  pengalaman atau suatu proses mental. Dan proses mental ini mempunyai status dalam dunia 2. Selanjutnya, masih ada dunia produk proses pemikiran, yakni dunia kreatifitas manusia, yang merupakan dunia 3 dari Popper.  Namun Eccless juga menambahkan bahwa dalam eksprsi linguistiklah proses-proses pemikiran subjektif itu mulai mendapat status obyektif (dunia 3).
            Penelitian ilmiah mutakhir yang lebih berhubungan dengan fungsi otak sebagai penghubung (liaison brain) mulai memasukkan unsur-unsur jiwa (soul, psyche) dan diri (self) ke dalam dunia 2. Sebelum itu Dunia 2 hanya digambarkan atas indra luar (”outer sense”) dan indra dalam (”inner sense”).

            Dalam gambar tersebut digambarkan lebih jelas hubungan interaksi pemikiran –otak di dalam  otak manusia. Gambar anak panah menjelaskan jalur komunikasi antar komponen-komponen Dunia 2 sendiri, maupun komunikasinya dengan organ otak-penghubung. Perlu diperhatikan bahwa kemampuan mengimijinasi (imagining), terletak pada inner sense bersamaan dengan pemikiran, perasaan, memori, mimpi dan intensi. Dengan demikian kendati pemikiran dan imajinasi itu dibedakan dalam fungsinya, namun sebagai sebentuk daya-daya mental keduanya mempunyai wilayah yang sama di dalam inner sense (dibandingkan dengan wilayah bagi indra luar atau outer sense).
Kita sudah terbiasa dengan penilaian-penilaian inteligensi kita terhadap hal-hal lain dengan memakai atribut-atribut seperti kecakapan menangkap, kedalaman pemahaman, kejelasan ekspresi, rentang intelektual, dan terutama insight atau pemahaman baru. Itu semua dapat diselidiki dan diteliti, dan akhirnya diangkakan oleh para psikolog sebagai IQ. Akan tetapi, imaji adalah fenomena mental yang sifatnya lebih tidak kasat mata, dan sejauh ini belum ada instrument tertentu yang bisa menilainya. Maka imajinasi kreatif yang sulit dideteksi secara instrumental ini justru menjadi bagian dari fungsi otak yang sangat penting. Sebagaimana kreativitas  dan kemampuan  berinisiatif adalah semacam anugerah – yang diterima begitu saja, imajinasipun demikian. Imajinasi dan kemampuan imajinatif hanya dapat ”DIBUKA” dan tidak bisa dipelajari secara metodis.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa  intelek dapat dikembangkan sesuai kedewasaan manusia dan masa pertumbuhan adalah masa yang penting, sedangkan imajinasi adalah suatu kemampuan ”yang diterima begitu saja” yang berbeda pada setiap orang tanpa membedakan tinggi rendah tingkatannya – kemampuan ini dapat dimunculkan ke permukaan. Jadi, intelek mesti dilatih  sedangkan imajinasi ”diberi jalan keluar” sebagai kemampuan yang lebih obyektif. Namun, harus diingat bahwa keduanya  itu saling melengkapi, bukannya saling menguasai, dapat dibayangkan tanpa imajinasi maka sulit dibayangkan bahwa pengetahuan manusia berkembang dengan pesat seperti di jaman sekarang ini.

C.        Imajinasi : Roh Kreatif Intelek
Roh (latin : spiritus), secara umum roh diartikan sebagai  sesuatu yang menjiwai serta menggerakkan, sesuatu yang cenderung bersifat Ilahi. Pemahaman ini mengandung makna bahwa intelek tidak bisa terlepas dari imajinasi.
Roh identik dengan kehidupan, karena tanpa roh yang bersatu dengan badan berarti manusia tidak hidup lagi. Demikian pula dengan imajinasi sebagai suatu daya. Pada wilayah pikiran, daya-daya dalam diri manusia pun saling mempengaruhi serupa  dengan keberadaan fisik maupun rohaninya.
Imajinasi itu bukan sekedar ”roh intelek”, tetapi juga ”roh kreatif intelek”. Pada pembicaraan sehari-hari kita cenderung mengatakan bahwa seorang anak yang kreatif itu karena penuh dengan inisiatif, atau karena kuat daya imajinasinya, Kita tidak langsung mengatakan bahwa anak yang kreatif itu karena inteleknya kuat atau intelegensinya tinggi. Banyak contoh justru memperlihatkan bahwa seorang anak yang intelejensinya tinggi tidak terlalu kreatif, bahkan bisa jadi malah tidak kreatif. Kecenderungan dan kenyataan seperti itu bukannya tanpa alasan, karena kreatifitas itu memang muncul dan kuat tatkala seorang membuka kemampuan imajinatifnya. Bersamaan dengan itu, bukan sekedar kreativitas yang muncul, tetapi – berbicara  secara etis - inisiatifnya untuk bertindakpun menjadi lebih  kuat. Dalam hal inilah pemahaman kita tentang imajinasi mulai mendekati daerah moral. Inisiatif untuk bertindak pada  kenyataannya tak pernah langsung dihubungkan dengan kepintaran dan kepandaian intelek. Kepandaian intelek inilah yang justru harus didukung oleh imajinasi, sebagai rohnya, agar muncul dalam bentuk kreativitas dan inisiatif bebas manusia.

Untuk info Terapi Seni Lukis hubungi :

Rumah Sehat Thera Afiat
Jl. Kelapa Sawit Blok D/D No. 15
Samping Pusat Kajian Al Quran dan Informasi Islam
Kelapagading
Jakarta Utara

Telp./WA  08111494599
08788 3171247
Pin 28303BAC

Source: