Selasa, 07 Juli 2015

Pengantar Terapi Seni Lukis

Pengantar Terapi  Seni Lukis
Oleh : Verri JP MA

Zaman sekarang  di lingkungan hidup kita dipenuhi oleh gambar-gambar,  sejak kita bangun dari tidur, beraktifitas sampai kita tidur lagi kita bisa melihatnya. Sayangnya gambar-gambar yang ada di lingkungan kita tersebut bukan ciptaan kita, ada yang dibuat oleh keluarga kita, tetangga kita, bahkan yang paling banyak adalah ciptaan dari orang-orang yang tidak jelas dari mana nara sumbernya.
Penyajian gambar-gambar tersebut bisa melalui media komunikasi ataupun peralatan lainnya, contohnya : koran, majalah, televisi, internet dan lain-lain. Sedangkan di jalanan kita bisa melihat iklan-iklan dalam bentuk billboard, graffity di jalanan, tukang loper koran yang menjajakan majalah dan korang di halte-halte bus. Di ruang tunggu rumah sakit kita juga dihidangkan iklan-iklan obat-obatan yang dipasang di ruang tunggu pasien, jadi, dimana dan kemanapun kita pergi kita diserbu gambaran-gambaran yang akan menciptakan persepsi tentang berbagai realitas, termasuk juga realitas  pada diri kita.  
            Serbuan gambar yang bertubi-tubi tersebut membuat  subjek individu seperti  kanvas putih yang siap dicorat-coret apa saja dan dipengaruhi apa saja. Dalam kerangka semacam ini subjek manusia sebagai pusat kreatif menjadi apatis. Ia terancam menjadi eks-sentris, ia tidak lagi mengalami dirinya menjadi sumber ungkapan. Bahkan dengan deraan gambar yang beraneka rupa dan aneka temanya itu seolah membuat kita seperti dibawa ke dalam labirin gambar dan tersesat di dalamnya.
            Andaikan gambar dan imajinasi adalah suatu yang esensial dalam diri manusia, dan jika rasionalisme telah mematikannya atas nama kepastian, sementara teknologi komunikasi dan informasi juga menjeratnya, maka solusinya adalah melepas jeratan tersebut  agar  manusia sebagai subjek kreatif tidak teralienasi dan tetap memegang kendali.  Disini melalui terapi melukis peserta workshop  Terapi Seni Lukis akan di ajak ke  dalam relung-relung imajinasi diri, membukanya, menuangkannya di atas kanvas dan  menjadi peran utama dalam dunia gambar.

A.        Terminologi
Yang dimaksud Imajinasi adalah daya untuk membuat gambaran atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan).  Proses mengimajinasikannya ini akan membentuk gambaran tertentu, dan ini terjadi secara mental. Artinya, gambaran tersebut tidak secara  visual (kasat mata) dan tekstural (teraba oleh kulit dan tangan).
Sebuah lukisan  adalah hasil imajinasi seorang pelukis, namun hakikinya apa yang dihasilkan berupa lukisan itu tidak sama dengan imajinasi ketika masih ada di dalam alam khayal. Perbedaan apa yang ada di dalam alam khayal dengan apa yang tertuang karena  ada kombinasi lagi antara cat (minyak, acrylic) pada kanvas. Jadi, semakin jelas bahwa  imajinasi adalah proses mental, bukan pada proses visual jasmaniyah.
Ada perbedaan antara imajinasi, ilusi, khayalan dan fantasi, walau sekilas terasa bermakna sama. Fantasi adalah daya  untuk membayangkan sesuatu, sedangkan khayalan (English : Illusion)  adalah hasil berfantasi seseorang. Kalau didefinisikan Ilusi adalah  ide, kesan atau keyakinan yang salah tentang sesuatu. Ilusi ini dapat diciptakan, maka orang yang dapat menciptakan ilusi ini disebut Illusionis. Contoh Ilusionis diantaranya David Coperfield.
Dalam Bahasa Inggris ada beberapa variasi kata ”imajinasi”, yakni imagery, imaginary dan imagine. Imaji tidak harus berupa lukisan, imagery sering digunakan para penyair dalam bentuk tamsil atau perumpamaan. Kalau imaginary diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah imajiner atau khayal. Sedangkan kata “imagine” berarti membentuk suatu gambaran mental tentang sesuatu, biasanyanya diterjemahkan dengan kata “membayangkan”.

B.        Imajinasi Dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut John Eccles, ilmuwan yang pernah mendapat hadiah Noble, dalam buku karangannya Evolution of the brain creation of the self, secara ilmiah   menunjukkan proses evolutif perkembangan otak manusia, baik secara arkeologis, biologis maupun psikologis, seraya memaparkan proses evolusi otak manusia dan karenanya juga pemikiran dan pengetahuan pengenalannya akan ”diri” (self).
Secara lebih umum Eccles  telah membuat representasi tiga dunia yang meliputi berbagai eksistensi dan pengalaman manusia.


            imajinasi kreatif (creative imagination) digolongkan dalam dunia 2 (world 2), yakni keseluruhan dunia kesadaran atau keseluruhan – pengalaman – subyektif manusia. Sementara itu dunia 1 (World 1) adalah dunia obyek  dan kondisi fisik yang terdiri atas aspek inorganik, biologis, dan artefak (benda yang dibuat manusia terutama peralatan dan senjata yang penting dalam arkeologi).  Dunia 1 ini juga meliputi otak manusia, sedangkan Dunia 3 (World 3) adalah dunia pengetahuan dalam konteks obyektif, yakni warisan kultural dan sistem-sistem teoritis, termasuk juga bahasa.  Pemahaman akan ketiga dunia ini penting untuk memahami penempatan daya imajinasi dalam struktur pemikiran dalam hubungan dengan otak manusia. Istilah pemikiran itu sendiri mengacu pada  pengalaman atau suatu proses mental. Dan proses mental ini mempunyai status dalam dunia 2. Selanjutnya, masih ada dunia produk proses pemikiran, yakni dunia kreatifitas manusia, yang merupakan dunia 3 dari Popper.  Namun Eccless juga menambahkan bahwa dalam eksprsi linguistiklah proses-proses pemikiran subjektif itu mulai mendapat status obyektif (dunia 3).
            Penelitian ilmiah mutakhir yang lebih berhubungan dengan fungsi otak sebagai penghubung (liaison brain) mulai memasukkan unsur-unsur jiwa (soul, psyche) dan diri (self) ke dalam dunia 2. Sebelum itu Dunia 2 hanya digambarkan atas indra luar (”outer sense”) dan indra dalam (”inner sense”).

            Dalam gambar tersebut digambarkan lebih jelas hubungan interaksi pemikiran –otak di dalam  otak manusia. Gambar anak panah menjelaskan jalur komunikasi antar komponen-komponen Dunia 2 sendiri, maupun komunikasinya dengan organ otak-penghubung. Perlu diperhatikan bahwa kemampuan mengimijinasi (imagining), terletak pada inner sense bersamaan dengan pemikiran, perasaan, memori, mimpi dan intensi. Dengan demikian kendati pemikiran dan imajinasi itu dibedakan dalam fungsinya, namun sebagai sebentuk daya-daya mental keduanya mempunyai wilayah yang sama di dalam inner sense (dibandingkan dengan wilayah bagi indra luar atau outer sense).
Kita sudah terbiasa dengan penilaian-penilaian inteligensi kita terhadap hal-hal lain dengan memakai atribut-atribut seperti kecakapan menangkap, kedalaman pemahaman, kejelasan ekspresi, rentang intelektual, dan terutama insight atau pemahaman baru. Itu semua dapat diselidiki dan diteliti, dan akhirnya diangkakan oleh para psikolog sebagai IQ. Akan tetapi, imaji adalah fenomena mental yang sifatnya lebih tidak kasat mata, dan sejauh ini belum ada instrument tertentu yang bisa menilainya. Maka imajinasi kreatif yang sulit dideteksi secara instrumental ini justru menjadi bagian dari fungsi otak yang sangat penting. Sebagaimana kreativitas  dan kemampuan  berinisiatif adalah semacam anugerah – yang diterima begitu saja, imajinasipun demikian. Imajinasi dan kemampuan imajinatif hanya dapat ”DIBUKA” dan tidak bisa dipelajari secara metodis.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa  intelek dapat dikembangkan sesuai kedewasaan manusia dan masa pertumbuhan adalah masa yang penting, sedangkan imajinasi adalah suatu kemampuan ”yang diterima begitu saja” yang berbeda pada setiap orang tanpa membedakan tinggi rendah tingkatannya – kemampuan ini dapat dimunculkan ke permukaan. Jadi, intelek mesti dilatih  sedangkan imajinasi ”diberi jalan keluar” sebagai kemampuan yang lebih obyektif. Namun, harus diingat bahwa keduanya  itu saling melengkapi, bukannya saling menguasai, dapat dibayangkan tanpa imajinasi maka sulit dibayangkan bahwa pengetahuan manusia berkembang dengan pesat seperti di jaman sekarang ini.

C.        Imajinasi : Roh Kreatif Intelek
Roh (latin : spiritus), secara umum roh diartikan sebagai  sesuatu yang menjiwai serta menggerakkan, sesuatu yang cenderung bersifat Ilahi. Pemahaman ini mengandung makna bahwa intelek tidak bisa terlepas dari imajinasi.
Roh identik dengan kehidupan, karena tanpa roh yang bersatu dengan badan berarti manusia tidak hidup lagi. Demikian pula dengan imajinasi sebagai suatu daya. Pada wilayah pikiran, daya-daya dalam diri manusia pun saling mempengaruhi serupa  dengan keberadaan fisik maupun rohaninya.
Imajinasi itu bukan sekedar ”roh intelek”, tetapi juga ”roh kreatif intelek”. Pada pembicaraan sehari-hari kita cenderung mengatakan bahwa seorang anak yang kreatif itu karena penuh dengan inisiatif, atau karena kuat daya imajinasinya, Kita tidak langsung mengatakan bahwa anak yang kreatif itu karena inteleknya kuat atau intelegensinya tinggi. Banyak contoh justru memperlihatkan bahwa seorang anak yang intelejensinya tinggi tidak terlalu kreatif, bahkan bisa jadi malah tidak kreatif. Kecenderungan dan kenyataan seperti itu bukannya tanpa alasan, karena kreatifitas itu memang muncul dan kuat tatkala seorang membuka kemampuan imajinatifnya. Bersamaan dengan itu, bukan sekedar kreativitas yang muncul, tetapi – berbicara  secara etis - inisiatifnya untuk bertindakpun menjadi lebih  kuat. Dalam hal inilah pemahaman kita tentang imajinasi mulai mendekati daerah moral. Inisiatif untuk bertindak pada  kenyataannya tak pernah langsung dihubungkan dengan kepintaran dan kepandaian intelek. Kepandaian intelek inilah yang justru harus didukung oleh imajinasi, sebagai rohnya, agar muncul dalam bentuk kreativitas dan inisiatif bebas manusia.

Untuk info Terapi Seni Lukis hubungi :

Rumah Sehat Thera Afiat
Jl. Kelapa Sawit Blok D/D No. 15
Samping Pusat Kajian Al Quran dan Informasi Islam
Kelapagading
Jakarta Utara

Telp./WA  08111494599
08788 3171247
Pin 28303BAC

Source:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar