Pengantar Terapi Seni
Lukis
Oleh : Verri JP MA
Zaman sekarang di
lingkungan hidup kita dipenuhi oleh gambar-gambar, sejak kita bangun dari tidur, beraktifitas
sampai kita tidur lagi kita bisa melihatnya. Sayangnya gambar-gambar yang ada
di lingkungan kita tersebut bukan ciptaan kita, ada yang dibuat oleh keluarga
kita, tetangga kita, bahkan yang paling banyak adalah ciptaan dari orang-orang
yang tidak jelas dari mana nara
sumbernya.
Penyajian gambar-gambar tersebut bisa melalui media
komunikasi ataupun peralatan lainnya, contohnya : koran, majalah, televisi,
internet dan lain-lain. Sedangkan di jalanan kita bisa melihat iklan-iklan
dalam bentuk billboard, graffity di jalanan, tukang loper koran yang menjajakan
majalah dan korang di halte-halte bus. Di ruang tunggu rumah sakit kita juga
dihidangkan iklan-iklan obat-obatan yang dipasang di ruang tunggu pasien, jadi,
dimana dan kemanapun kita pergi kita diserbu gambaran-gambaran yang akan
menciptakan persepsi tentang berbagai realitas, termasuk juga realitas pada diri kita.
Serbuan
gambar yang bertubi-tubi tersebut membuat
subjek individu seperti kanvas
putih yang siap dicorat-coret apa saja dan dipengaruhi apa saja. Dalam kerangka
semacam ini subjek manusia sebagai pusat kreatif menjadi apatis. Ia terancam
menjadi eks-sentris, ia tidak lagi mengalami dirinya menjadi sumber ungkapan.
Bahkan dengan deraan gambar yang beraneka rupa dan aneka temanya itu seolah
membuat kita seperti dibawa ke dalam labirin gambar dan tersesat di dalamnya.
Andaikan
gambar dan imajinasi adalah suatu yang esensial dalam diri manusia, dan jika
rasionalisme telah mematikannya atas nama kepastian, sementara teknologi
komunikasi dan informasi juga menjeratnya, maka solusinya adalah melepas
jeratan tersebut agar manusia sebagai subjek kreatif tidak
teralienasi dan tetap memegang kendali.
Disini melalui terapi melukis peserta workshop Terapi Seni Lukis akan di ajak ke dalam relung-relung imajinasi diri,
membukanya, menuangkannya di atas kanvas dan
menjadi peran utama dalam dunia gambar.
A. Terminologi
Yang dimaksud Imajinasi adalah daya untuk membuat gambaran
atau konsep-konsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi
(pengindraan). Proses
mengimajinasikannya ini akan membentuk gambaran tertentu, dan ini terjadi
secara mental. Artinya, gambaran tersebut tidak secara visual (kasat mata) dan tekstural (teraba
oleh kulit dan tangan).
Sebuah lukisan adalah
hasil imajinasi seorang pelukis, namun hakikinya apa yang dihasilkan berupa
lukisan itu tidak sama dengan imajinasi ketika masih ada di dalam alam khayal.
Perbedaan apa yang ada di dalam alam khayal dengan apa yang tertuang
karena ada kombinasi lagi antara cat
(minyak, acrylic) pada kanvas. Jadi, semakin jelas bahwa imajinasi adalah proses mental, bukan pada
proses visual jasmaniyah.
Dalam Bahasa Inggris ada beberapa variasi kata ”imajinasi”,
yakni imagery, imaginary dan imagine. Imaji tidak harus berupa lukisan, imagery
sering digunakan para penyair dalam bentuk tamsil atau perumpamaan. Kalau
imaginary diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah imajiner atau khayal.
Sedangkan kata “imagine” berarti membentuk suatu gambaran mental tentang
sesuatu, biasanyanya diterjemahkan dengan kata “membayangkan”.
B. Imajinasi
Dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut John Eccles, ilmuwan yang pernah mendapat hadiah
Noble, dalam buku karangannya Evolution of the brain creation of the self,
secara ilmiah menunjukkan proses
evolutif perkembangan otak manusia, baik secara arkeologis, biologis maupun
psikologis, seraya memaparkan proses evolusi otak manusia dan karenanya juga pemikiran
dan pengetahuan pengenalannya akan ”diri” (self).
Secara lebih umum Eccles
telah membuat representasi tiga dunia yang meliputi berbagai eksistensi
dan pengalaman manusia.
imajinasi
kreatif (creative imagination) digolongkan dalam dunia 2 (world 2), yakni
keseluruhan dunia kesadaran atau keseluruhan – pengalaman – subyektif manusia.
Sementara itu dunia 1 (World 1) adalah dunia obyek dan kondisi fisik yang terdiri atas aspek
inorganik, biologis, dan artefak (benda yang dibuat manusia terutama peralatan
dan senjata yang penting dalam arkeologi).
Dunia 1 ini juga meliputi otak manusia, sedangkan Dunia 3 (World 3)
adalah dunia pengetahuan dalam konteks obyektif, yakni warisan kultural dan
sistem-sistem teoritis, termasuk juga bahasa.
Pemahaman akan ketiga dunia ini penting untuk memahami penempatan daya
imajinasi dalam struktur pemikiran dalam hubungan dengan otak manusia. Istilah
pemikiran itu sendiri mengacu pada
pengalaman atau suatu proses mental. Dan proses mental ini mempunyai
status dalam dunia 2. Selanjutnya, masih ada dunia produk proses pemikiran,
yakni dunia kreatifitas manusia, yang merupakan dunia 3 dari Popper. Namun Eccless juga menambahkan bahwa dalam
eksprsi linguistiklah proses-proses pemikiran subjektif itu mulai mendapat
status obyektif (dunia 3).
Penelitian
ilmiah mutakhir yang lebih berhubungan dengan fungsi otak sebagai penghubung
(liaison brain) mulai memasukkan unsur-unsur jiwa (soul, psyche) dan diri
(self) ke dalam dunia 2. Sebelum itu Dunia 2 hanya digambarkan atas indra luar
(”outer sense”) dan indra dalam (”inner sense”).
Dalam
gambar tersebut digambarkan lebih jelas hubungan interaksi pemikiran –otak di
dalam otak manusia. Gambar anak panah
menjelaskan jalur komunikasi antar komponen-komponen Dunia 2 sendiri, maupun
komunikasinya dengan organ otak-penghubung. Perlu diperhatikan bahwa kemampuan
mengimijinasi (imagining), terletak pada inner sense bersamaan dengan
pemikiran, perasaan, memori, mimpi dan intensi. Dengan demikian kendati
pemikiran dan imajinasi itu dibedakan dalam fungsinya, namun sebagai sebentuk
daya-daya mental keduanya mempunyai wilayah yang sama di dalam inner sense
(dibandingkan dengan wilayah bagi indra luar atau outer sense).
Kita sudah terbiasa dengan penilaian-penilaian inteligensi
kita terhadap hal-hal lain dengan memakai atribut-atribut seperti kecakapan
menangkap, kedalaman pemahaman, kejelasan ekspresi, rentang intelektual, dan
terutama insight atau pemahaman baru. Itu semua dapat diselidiki dan diteliti,
dan akhirnya diangkakan oleh para psikolog sebagai IQ. Akan tetapi, imaji
adalah fenomena mental yang sifatnya lebih tidak kasat mata, dan sejauh ini
belum ada instrument tertentu yang bisa menilainya. Maka imajinasi kreatif yang
sulit dideteksi secara instrumental ini justru menjadi bagian dari fungsi otak
yang sangat penting. Sebagaimana kreativitas
dan kemampuan berinisiatif adalah
semacam anugerah – yang diterima begitu saja, imajinasipun demikian. Imajinasi
dan kemampuan imajinatif hanya dapat ”DIBUKA” dan tidak bisa dipelajari secara
metodis.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa intelek dapat dikembangkan sesuai kedewasaan
manusia dan masa pertumbuhan adalah masa yang penting, sedangkan imajinasi
adalah suatu kemampuan ”yang diterima begitu saja” yang berbeda pada setiap
orang tanpa membedakan tinggi rendah tingkatannya – kemampuan ini dapat
dimunculkan ke permukaan. Jadi, intelek mesti dilatih sedangkan imajinasi ”diberi jalan keluar”
sebagai kemampuan yang lebih obyektif. Namun, harus diingat bahwa keduanya itu saling melengkapi, bukannya saling
menguasai, dapat dibayangkan tanpa imajinasi maka sulit dibayangkan bahwa
pengetahuan manusia berkembang dengan pesat seperti di jaman sekarang ini.
C. Imajinasi :
Roh Kreatif Intelek
Roh (latin : spiritus), secara umum roh diartikan
sebagai sesuatu yang menjiwai serta
menggerakkan, sesuatu yang cenderung bersifat Ilahi. Pemahaman ini mengandung
makna bahwa intelek tidak bisa terlepas dari imajinasi.
Roh identik dengan kehidupan, karena tanpa roh yang bersatu
dengan badan berarti manusia tidak hidup lagi. Demikian pula dengan imajinasi
sebagai suatu daya. Pada wilayah pikiran, daya-daya dalam diri manusia pun
saling mempengaruhi serupa dengan
keberadaan fisik maupun rohaninya.
Imajinasi itu bukan sekedar ”roh intelek”, tetapi juga ”roh
kreatif intelek”. Pada pembicaraan sehari-hari kita cenderung mengatakan bahwa
seorang anak yang kreatif itu karena penuh dengan inisiatif, atau karena kuat
daya imajinasinya, Kita tidak langsung mengatakan bahwa anak yang kreatif itu
karena inteleknya kuat atau intelegensinya tinggi. Banyak contoh justru
memperlihatkan bahwa seorang anak yang intelejensinya tinggi tidak terlalu
kreatif, bahkan bisa jadi malah tidak kreatif. Kecenderungan dan kenyataan
seperti itu bukannya tanpa alasan, karena kreatifitas itu memang muncul dan
kuat tatkala seorang membuka kemampuan imajinatifnya. Bersamaan dengan itu,
bukan sekedar kreativitas yang muncul, tetapi – berbicara secara etis - inisiatifnya untuk bertindakpun
menjadi lebih kuat. Dalam hal inilah
pemahaman kita tentang imajinasi mulai mendekati daerah moral. Inisiatif untuk
bertindak pada kenyataannya tak pernah
langsung dihubungkan dengan kepintaran dan kepandaian intelek. Kepandaian
intelek inilah yang justru harus didukung oleh imajinasi, sebagai rohnya, agar
muncul dalam bentuk kreativitas dan inisiatif bebas manusia.
Untuk
info Terapi Seni Lukis hubungi :
Rumah
Sehat Thera Afiat
Jl.
Kelapa Sawit Blok D/D No. 15
Samping
Pusat Kajian Al Quran dan Informasi Islam
Kelapagading
Telp./WA 08111494599
08788
3171247
Pin
28303BAC
Source:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar